Untuk aktivitas dan kegiatan VOTE sila klik di www.voicefromtheeast.org , sangat dinanti partisipasi kita semua. Salam Pembebasan.... I am the Voice
Senin, 12 Maret 2012
VOTE
Voice From The East (VOTE) adalah gerakan yang dibangun untuk membangkitkan kepedulian terhadap berbagai masalah di Indonesia Timur. Dimotori oleh KontraS dan musisi Glenn Fredly, VOTE mendapat banyak dukungan dari NGO, INGO juga kalangan musisi. Gebrakan ini di launch pada tanggal 5 Februari 2012 lalu di FX mall Senayan. Konser akbar VOTE akan digelar tanggal 14 April 2012 di Yogyakarta. VOTE adalah gerakan budaya untuk mengajak semua orang menjadi peduli pada sesama manusia yang tertindas. Didalam sistem yang mengedepankan individualitas ini, kerja bersama secara sukarela menjadi barang yang sangat mahal. Dengan semangat VOTE diharapkan tercipta manusia-manusia baru yang lebih peduli dengan manusia lain tanpa ada embel-embel tertentu. Seperti kata Che "Bila Hatimu tergetar marah melihat ketidakadilan, maka kau adalah kawanku". Manusia peduli dengan ketidakadilan yang diterima manusia lain, walaupun dia bukan saudaranya, bukan temannya, bahkan bisa tak mengenalnya, tapi atas nama melawan ketidakadilan, maka kita selalu bisa bersama-sama. sepertinya sederhana, tapi kenyataannya tidak mudah....kenapa....masing-masing pasti punya pembenaran dan prioritas yang berbeda. saya mendukung gerakan tolak kenaikan BBM, yg lain tidak, tapi ketika BBM tidak naik, semua orang menikmatinya bukan...hehehe
Rabu, 29 Februari 2012
Cerita Anjing...
Aku sangat senang
dengan anjing. Anjing yang bersih dan wangi sangat menyenangkan untuk diajak
bermain atau sekedar di belai-belai. Anjing itu paling suka dibelai di mukanya,
kupingnya dan juga perutnya. Ekornya akan menari-nari jika dia sedang senang.
Dan ekornya akan mengkerut kalo dia takut atau merasa tidak nyaman.
Dari mama dan
papaku aku mendapat cerita waktu itu rumahku di Senayan Banjir, dan aku baru
berumur 4 bulan. Sementara papa dan mama siap-siap mengungsi aku diletakkan di
meja tamu dengan ditungguin Tego anjing kami. Tego berjaga disebelahku sampai
papa dan mamaku datang dan mengambilku. Itu kisah pertamaku tentang anjing. Tidak
semua kuingat, berharap adik2ku bisa membantuku mengingatnya kelak.
Waktu kami tinggal
di jalan Nusa Indah, kami punya anjing warnanya hitam campur putih, namanya
Tego sama dengan anjing pertamaku. Tego ini punya banyak anak, dan aku senang
sekali ketika harus memandikan anak2nya. Biasanya kami masukin semua anak2
dalam ember yg sudah ada sabunnya. Aku dan adik2ku memegang anak anjing itu
mulai memandikannya. Kami sangat sedih pada saat Tego ketabrak mobil dikala
masih menyusui anak2nya. Papa member minum air kelapa dan merawat tego, juga
mama dan mbak Nah. Akhirnya Tego pulih dan bermain bersama kami lagi. Waktu
kami tinggal di rumah embah, Tego juga ikut. Tego bergabung dengan anjing lain
sehingga dia kotor dan kutuan. Mama marah pada kami karena sering membawa Tego
tidur bersama di tempat tidur. Karena kami tidak menggubris maka mama
menyerahkan Tego untuk dimasak pada acara pemuda di gereja kami. Kami
mempertahankan Tego dan kami semua menangis saat Tego di bawa pergi untuk
dimasak. Mama dan Papa menghibur kami dengan menghadirkan anjing baru tentunya…
Aku punya
anjing jenis Doberman, kami beri nama
Chiko, Chiko di bawa adikku Lorry kerumahku . Chiko kecil sangat lucum ketika
bertambah besar dia jadi ramping, galak dan semua orang takut. Kalo kami lagi
tiduran di ubin chiko akan melewati kami dengan kakinya yang tinggi dan ramping
itu. Chiko suka mengunyah es batu hehehe…lucu kan…dan bila ada orang marah dia
sangat sensitive dan bersembunyi dibawah kolong tempat tidur mbah putriku hehe.
Setelah dirayu bahwa kami nggak marahin dia, dia akan keluar dari kolong.
Semenjak ada chiko tidak ada kucing yang masuk dirumahku, tamupun pasti
ketok-ketok pagar dulu walau pintu pagar tidak dikunci. Chiko tidak suka pada
perempuan tua, kalo ada perempuan tua sahabat mbah putriku datang, dia pasti
akan garang, bahkan ada yang pakaiannya terkoyak krn Chiko. Kalo tamu mau
pulang dan kami mengantarkannya sampai ke pintu depan, Chiko mengikuti dari
belakang, dan dia akan berpegangan di pundak papa sambil mengantarkan si tamu
pulang. Sebagai anjing dobermen chiko perlu lari untuk melemaskan otot-otot kakinya,
dan adikku Dolling selalu membawanya lari-lari di sore hari. Selain itu kadang
chiko disuruh lari dijalanan depan rumah kami sampai ke jalan raya, dan
biasanya tidak ada manusia dijalan itu, karena takut digigit. Padahal chiko
tidak pernah menggigit orang, kalo menakuti sih sering. Ceritanya begini,
adikku victor memelihara ayam di belakang rumah, dan kami meminta chiko menjaga
supaya ayam-ayam kecil itu tidak masuk kedalam rumah. Rupanya chiko bekerja
dengan baik, dia berjaga dekat pintu tengah sambil pura-pura tidur, begitu ayam
masuk kerumah, chiko kejar itu ayam dan kemudian meletakkan dimulutnya sambil
diayun-ayun untuk beberapa saat. Setelah itu dilepaskannya ayam itu. Hmmmm ayam
mana yang nggak kapok digituin chuiii…chiko chiko. Suatu hari Chiko sakit dan
sempat dibawa ke rumah sakit, dia kena parvo, dan kondisinya makin parah dari
hari ke hari walaupun sudah ke dokter. Adikku Ubing menemaninya siang dan
malam. Dia tak berdaya bahkan untuk sekedar mengangkat tubuhnya. Suatu malam
kondisinya makin parah, dan dia menunggu papaku untuk pamitan. Waktu dengar
suara papa pulang chiko berusaha bangkit dari tidurnya dan menemui papa di muka
pintu, di dekapan papa Chiko pergi untuk selama-lamanya. Waktu itu jam 23.00
wib, kami semua menanngis melepas Chiko. Mbah putriku yang baru bangun karena
mendengar kami menangis protes, heh pada diem nanti dikira aku yang
meninggal….ah mbah putri ini emang lucu deh. Paginya papa mengubur Chiko
dihalaman belakang, dan papa kecapekan karena Chiko seperti orang saja panjangnya.
Dan kami sering memberi bunga di kuburan chiko kala itu.
Paska Chiko kami
berganti-ganti punya anjing tapi tak lama sehingga tidak begitu membekas sih
ADA Poland, Bronie, dll, pernah juga anjing bulldog kecil, masih kecil aja
makannya banyak banget chuii, kalo abis makan perutnya bundar dan kalo dia
duduk perutnya menyentuh lantai, lucu banget sih…tapi sayang dia hilang saat
pintu pagar tidak tertutup rapat.
Oh ya waktu aku
kuliah di Semarang aku dan teman-teman sekontrakan pernah punya 2 anjing. Warna
putih kami beri nama Celin dan yang hitam kami namai Witni. Baru sebulan
bersama kami, lagi-lagi mereka terserang parvo. Kami membawanya ke rumah sakit
anjing di Semarang dengan bantuan Nino kawanku dengan mitun mobilnya hehehe…begitupun
ketika menengok kedua anjing itu, kawanku Nino juga mengantar kami kesana.
Thanks Nino… Celin akhirnya gak kuat dan mati, Witni terus bersama kami.
Sebagai anak kost tentu tidak mudah memelihara anjing. Aku dan temanku Antin mensiasatinya. Kalo aku
atau Antin makan maka bagi dua untuk si Witni hehehe. Witni tumbuh menjadi
anjing pintar dan terawat. Aku dan Antin bergantian memandikannya. Sehabis
mandi kami sering menyuruhnya berlarian untuk mengeringkan bulunya yang panjang
dan mengkilap. Suatu kali Witni muntah air beberapa kali, kami panic, dan
karena aku dan Antin kuliah pagi maka kami hanya memberikan air kelapa. Kondisi
Witni waktu kami tinggalkan sudah membaik. Waktu kami pulang kondisinya makin
parah, dan Witni pergi di pangkuanku dan Antin. Aku menangis sejadi-jadinya,
banyak teman yang datang ikut berduka. Aku membalut Witni dengan kaos dan
menguburkannya. Kata orang ada yang meracun Witni, terkutuklah orang itu
deh…setelah dimakamkan kami berkumpul dirumah, dan semua teman menggodaku “baru
tau Sinnal kalo nangis kenceng” dan kami semua tertawa…
Suatu sore adikku
Vic membawa anjing warna hitam dan coklat pada mata dan kakinya, semua kami
mengejek…kok anjing jelek banget sih…dank arena Vic bersikekeh memelihara
anjing itu maka kami tak ada yang protes, gilanya nggak ada yg kasih nama ke
anjing itu…akhirnya karena gak ada panggilan dipanggilah dia Acil yang
merupakan singkatan dari asu cilik (acil) hehehe. Vic dibantu sibungsu yang
merawat anjing itu. Dan ternyata hampir 13 tahun Acil bersama dengan
keluargaku. Dia anjing yang sangat cerdas dan setia. Saat mbah putriku tinggal
dirumah sendiri, acil berjaga di pintu depan, setiap mbah putri pergi dia
mengikutinya sampai mbah putriku menyuruhnya pergi. Begitupun ketika aku atau adik-adikku pulang
kerumah, acil akan menyambut kami di pagar dan mengikuti kami selama kami
dirumah. Dia seakan ikut kagen dan ingin menghabiskan waktu bersama kami. Kata
mbah putriku acil sudah melahirkan 13 kali, dan jumlah anaknya antar 4-6. Acil
anjing perempuan satu-satunya di kampungku. Oleh karenanya pada saat musim
kawin tiba, semua anjing pejantan berkumpul dirumahku, mulai anjing jelek
sampai anjing bagus. Walaupun tua acil terlihat manis lho…apalagi kalo abis
dimandiin dan dikasih bedak. Kalo pulang ke solo aku selalu memandikan acil
lho… Acil seperti mengerti kalo aku mengajaknya bercakap-cakap. Mama dan mbah
putri sering menertawaiku kalo melihat aku bercakap-cakap dengan Acil, kalo
papaku hanya senyum-senyum, karena papaku juga melakukannya hehehe… Saat papaku
meninggal Acilpun ikut terdiam, tidak ada gonggongan ketika banyak orang
berdatangan, dia ikut bersedih di tinggal papa seperti kami semua. Natal tahun
2010 aku pulang dan itu terakhir kalinya aku melihat Acil. Sejujurnya waktu itu
aku sering marah sama Acil. Kata mama Acil pergi dengan anjing tetangga dan gak
pulang lagi….maafin aku ya cil…janji deh kalo kamu pulang aku gak marah-marah
lagi deh…
Ada 2 anak Acil
yang menjaga rumah, tapi sayang keduanya hilang saat dagingnya menjadi incaran
sate-sate anjing yang sangat marak di Solo. Hingga kini tak ada anjing lagi
dirumah…namun begitu aku tetap penyuka anjing dan suatu saat jika memungkinkan
aku akan memelihara anjing dan tidak memarahinya hingga dia pergi dan tak
kembali hehehehe….
buat adik-adikku, kalo ada yang ditambahkan silakan ya...bila ada yang salah ingat, dibenerin ya...
Pernyataan Komnas Perempuan soal status anak diluar nikah
Pernyataan Sikap Komnas Perempuan
Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
25 Februari 2012
Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
25 Februari 2012
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelumnya, Pasal 43 ayat (1) hanya mengakui hubungan keperdataan anak di luar perkawinan dengan ibunya saja. Padahal, anak lahir pasti mempunyai ibu dan bapak. Artinya, seharusnya anak tidak saja memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, melainkan juga memiliki hubungan keperdataan dengan bapak/keluarga bapak. Keberadaan hubungan keperdataan ini mendorong pemenuhan hak-hak anak oleh orang tuanya yang sesungguhnya memikul tanggung jawab untuk itu, terlepas dari sah tidaknya perkawinan mereka menurut hukum negara.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa putusan ini sejalan dengan UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Sepanjang 2011, Komnas Perempuan menerima langsung pengaduan anak di luar perkawinan sebanyak 19 kasus, yaitu 12 kasus karena ibu menjadi korban kekerasan dalam pacaran, 2 kasus akibat perkosaan, 4 kasus akibat ibu terjebak dalam kejahatan perkawinan yang dilakukan suami yang masih terikat perkawinan lain, dan hanya satu kasus akibat perkawinan siri. Dari seluruh kasus yang diadukan, tidak satupun dari pelaku/laki-laki yang memenuhi tanggung jawabnya atas status hukum dan dukungan nafkah bagi anak yang dilahirkan. Sementara anak tumbuh dalam stigma sebagai anak haram, sang ibu/perempuan menanggung beban stigma masyarakat sebagai perempuan tidak baik/pezina dan beban orang tua tunggal yang menanggung seluruh biaya merawat anak. Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat meminimalkan terjadinya kekerasan berlapis pada perempuan/ibu.
Komnas Perempuan juga berpendapat bahwa putusan ini menegaskan urgensi negara mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai bentuk perlindungan negara kepada pihak-pihak dalam perkawinan. Sebagaimana pula disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida, kewajiban pencatatan perkawinan juga penting dalam menghindari kecenderungan inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut, seperti praktik penelantaran istri dan anak, kawin kontrak, dan kawin siri sebagai cara untuk berpoligami tanpa persetujuan istri. Dengan demikian, putusan ini harus dimaknai bukan sebagai normalisasi, apalagi legitimasi, pada praktik inkonsistensi tersebut yang jelas berujung pada kekerasan terhadap perempuan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini juga mempunyai arti penting bagi pemenuhan hak konstitusional masyarakat penghayat kepercayaan. Sampai saat ini, meski telah ada Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, masyarakat penghayat kepercayaan masih menghadapi hambatan mencatatkan perwakinannya yang diselenggarakan menurut kepercayaannya itu. Situasi serupa juga dihadapi oleh sejumlah kelompok agama minoritas yang mengalami diskriminasi. Akibatnya, selama ini anak hanya dicatatkan memiliki hubungan perdata dengan ibunya, dan pihak perempuan yang ada di dalam perkawinan ini juga tidak memperoleh perlindungan hukum.
Untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Komnas Perempuan:
Kontak Komnas Perempuan:
• Kunthi Tridewiyanti – Komisioner, Ketua Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (0817825734)
• Ninik Rahayu – Komisioner, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan(08170143009)
• Tumbu Saraswati – Komisioner, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (0816744832)
Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelumnya, Pasal 43 ayat (1) hanya mengakui hubungan keperdataan anak di luar perkawinan dengan ibunya saja. Padahal, anak lahir pasti mempunyai ibu dan bapak. Artinya, seharusnya anak tidak saja memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, melainkan juga memiliki hubungan keperdataan dengan bapak/keluarga bapak. Keberadaan hubungan keperdataan ini mendorong pemenuhan hak-hak anak oleh orang tuanya yang sesungguhnya memikul tanggung jawab untuk itu, terlepas dari sah tidaknya perkawinan mereka menurut hukum negara.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa putusan ini sejalan dengan UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Sepanjang 2011, Komnas Perempuan menerima langsung pengaduan anak di luar perkawinan sebanyak 19 kasus, yaitu 12 kasus karena ibu menjadi korban kekerasan dalam pacaran, 2 kasus akibat perkosaan, 4 kasus akibat ibu terjebak dalam kejahatan perkawinan yang dilakukan suami yang masih terikat perkawinan lain, dan hanya satu kasus akibat perkawinan siri. Dari seluruh kasus yang diadukan, tidak satupun dari pelaku/laki-laki yang memenuhi tanggung jawabnya atas status hukum dan dukungan nafkah bagi anak yang dilahirkan. Sementara anak tumbuh dalam stigma sebagai anak haram, sang ibu/perempuan menanggung beban stigma masyarakat sebagai perempuan tidak baik/pezina dan beban orang tua tunggal yang menanggung seluruh biaya merawat anak. Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat meminimalkan terjadinya kekerasan berlapis pada perempuan/ibu.
Komnas Perempuan juga berpendapat bahwa putusan ini menegaskan urgensi negara mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai bentuk perlindungan negara kepada pihak-pihak dalam perkawinan. Sebagaimana pula disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida, kewajiban pencatatan perkawinan juga penting dalam menghindari kecenderungan inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut, seperti praktik penelantaran istri dan anak, kawin kontrak, dan kawin siri sebagai cara untuk berpoligami tanpa persetujuan istri. Dengan demikian, putusan ini harus dimaknai bukan sebagai normalisasi, apalagi legitimasi, pada praktik inkonsistensi tersebut yang jelas berujung pada kekerasan terhadap perempuan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini juga mempunyai arti penting bagi pemenuhan hak konstitusional masyarakat penghayat kepercayaan. Sampai saat ini, meski telah ada Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, masyarakat penghayat kepercayaan masih menghadapi hambatan mencatatkan perwakinannya yang diselenggarakan menurut kepercayaannya itu. Situasi serupa juga dihadapi oleh sejumlah kelompok agama minoritas yang mengalami diskriminasi. Akibatnya, selama ini anak hanya dicatatkan memiliki hubungan perdata dengan ibunya, dan pihak perempuan yang ada di dalam perkawinan ini juga tidak memperoleh perlindungan hukum.
Untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Komnas Perempuan:
- Mendorong aparat penegak hukum, terutama Hakim untuk menggunakan putusan ini dalam memutus perkara terkait dengan hak anak pada hubungan perdata dengan ayah biologisnya;
- Mendorong pemerintah, utamanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I agar segera menyosialisasikan keputusan ini dalam koordinasi lintas kementrian/lembaga, terkait Surat Keputusan Menteri KPPPA No. 1 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bagi Perempuan dan Anak korban. Hal ini penting guna mempersiapkan layanan dukungan yang dibutuhkan ibu dan anak di luar perkawinan dalam upaya mendapatkan pengakuan sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi;
- Mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera merevisi UU Perkawinan agar substansinya dapat memenuhi kebutuhan hukum dan rasa keadilan warga negara khususnya perempuan, dengan mengintegrasikan putusan Mahkamah Konstitusi ini, termasuk mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai syarat perkawinan yang sah dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan dengan konstruksi hukum negara mengenai perkawinan dan administrasi kependudukan;
- Mengajak masyarakat untuk memberikan dukungan dalam proses hukum yang dilakukan perempuan korban kekerasan dalam memperjuangkan hak keperdataan anaknya dari pihak bapak/keluarga bapak, sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
Kontak Komnas Perempuan:
• Kunthi Tridewiyanti – Komisioner, Ketua Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (0817825734)
• Ninik Rahayu – Komisioner, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan(08170143009)
• Tumbu Saraswati – Komisioner, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (0816744832)
Selasa, 14 Februari 2012
Papa...
Kenangan tentang
Papa
Papaku yang hebat,
Papaku yang bijak,
Papaku sabahatku
Papaku teman
diskusiku
Papaku teman
curhatku
Papa selalu ada
dan tak kan pernah pergi
Mengenang papa adalah suatu kebahagiaan
sekaligus kebanggaan,
Karena tugasnya sudah selesai maka
beliau dipanggil pulang ke surga pada tanggal 20 September 2008. Papa pulang
dengan damai tanpa sakit sebelumnya,
pulang dengan tenang tanpa merepotkan siapapun, sungguh kepulangan yang sangat
indah. Papaku Bastian Dominggus Blegur, lahir 13 April 1940. Putra dari desa Latuna
Pantar, Alor, NTT. Putra Latuna pertama yang pergi ke Jawa untuk masuk
Universitas. Disarankan masuk UGM Yogya, tapi karena datang pada waktu
pertengahan semester, disarankan rektor UGM kala itu Prof Johanes untuk masuk
sekolah swasta sementara waktu. Bastian muda tercatat sebagai mahasiswa di
Universitas Islam Cokroamoto (yg sejak papa bercerita padaku Universitas itu
sudah almarhum hehe). Dia terdaftar sebagai mahasiswa Hukum. Papaku sangat suka
bercerita, dan kami anak-anaknya sangat senang mendengarnya. Ceritanya beragam,
mulai dari masa kecilnya di kampung, tentang pertama kali datang ke Jawa,
tentang kegemarannya membeli buku dan menunda makannya, tentang sepakbola, tinju
dan bulutangkis, tentang aktivitasnya di GMKI, bahkan tentang situasi politik. Aku
sangat bangga menjadi anaknya. Papa cerita
kalo sejak kecil dia paling takut kalo disuruh nyanyi. Tapi gara-gara dia aktif
melayani di gereja ketakutannya menyanyi jadi hilang bahkan papa senang
menyanyi. Papa cerita bahwa pada saat datang pertama ke Jawa tahun 1960an dia
bawa satu koper jelek dan sejumlah uang yang di jahit disakunya (karena takut
hilang hahahaha), naik kapal dari kupang turun di surabaya kemudian ke yogya
dan ke solo. Di solo papaku tinggal dirumah sewa yang menyediakan makan juga. Saat
pertama makan papaku di suguhi tahu, dan dia tidak tau apa itu. Akhirnya papa
makan nasi dan lauknya baru makan tahu,
karena papa mengira tahu itu roti
(hahahahaha).
Papa mengkondisikan kami anak-anak
untuk menghormati agama lain bahkan papa belajar semua agama. Dari kecil kami
tidak diperkenankan papa nonton film G30S nya Arifin C Noer. Papa dan mama
selalu mengajak kami jalan-jalan bila fim itu di putar di televisi. Dan sampai
sekarang aku tidak pernah nonton itu film secara utuh. Sehingga aku tidak punya
ingatan buruk tentang PKI seperti digambarkan dalam film itu. Aku ingin berucap
terimakasih papa....
Kala aku bantuin Nah (asisten RT kami) menyapu dan ngepel rumah, adik-adikku bikin kotor lagi, akupun berteriak dan marah-marah, dan papa mengambil sapu dari tanganku sambil bilang " ma...(sebutan papa untuk anak perempuannya dan pa untuk anak lelakinya) kalo kita mau bersihin rumah nggak boleh marah-marah, kalo kita kerja itu dapat berkat, tapi kalo kita kerja sambil marah-marah maka berkatnya pergi", aku mengingatnya hingga kini, kalo mau kerja yg dengan tulus hati nggak bisa kerja pake marah-marah tho hehe...makasih papa....
Kala aku bantuin Nah (asisten RT kami) menyapu dan ngepel rumah, adik-adikku bikin kotor lagi, akupun berteriak dan marah-marah, dan papa mengambil sapu dari tanganku sambil bilang " ma...(sebutan papa untuk anak perempuannya dan pa untuk anak lelakinya) kalo kita mau bersihin rumah nggak boleh marah-marah, kalo kita kerja itu dapat berkat, tapi kalo kita kerja sambil marah-marah maka berkatnya pergi", aku mengingatnya hingga kini, kalo mau kerja yg dengan tulus hati nggak bisa kerja pake marah-marah tho hehe...makasih papa....
Waktu kecil kalau kami anak-anak nakal
akan dipukul pakai kemoceng dibagian kaki, aku termasuk yang jarang
dipukul, yang paling sering adalah
adikku nomer 3 Dolling (alm) karena
emang paling bandel diantara kami 6 bersaudara. Tapi kami sudah tidak menerima
pukulan lagi selepas kami SD. Papa tidak pernah menggunakan tangannya untuk
memukul kami, yang dia gunakan adalah kata-kata dan kasih sayang dalam mendidik
kami. Harus kami akui kondisi itulah yang membuat kami anak-anak jadi manja dan
kurang hormat kepada orang tua. Maafkan kami papa....
Papaku jarang marah, seingatku papa
marah benar padaku 3 kali dalam hidupnya :
Aku ingat betapa takutnya aku waktu
kelas 3 SMP, selepas acara reuni bersama teman-teman SD, aku pulang telat tanpa
memberitahu papa. Papa mencariku kemana-mana sampai jam 1 dinihari. Aku pulang
diantar teman-teman, dan dari para tetangga aku diberitahu bahwa aku dicari
papa sejak tadi, ketika masuk rumah aku sangat ketakutan. Ketika teman-temanku
pulang, mbah putri dan mama menghampiri dan menenangkan aku, aku sangat
ketakutan meski belum bertemu muka dengan papa. Penyesalan, ketakutan dan rasa bersalah
bercampur dalam gelapnya ruang makan yang lampunya sudah dipadamkan. Papa
menghampiriku dan marah padaku, dan setelah menjelaskan kesalahanku papa minta
aku janji untuk tidak mengulangi lagi.
Waktu aku kuliah di semarang, aku
berdebat dengan papa dan sempat ngomong kasar kepada papa. Karena ada rapat
digereja papa pergi, dan karena aku harus pulang lagi kesemarang, aku akhirnya
menulis surat minta maaf atas kekasaranku pada papa dan meletaknya diatas meja
baca papa dikamarnya
Ketika aku sudah selesai kuliah, saat
itu begitu banyak masalah yang ada dikeluarga kami, dan aku merasa papa menjadi
lemah dan gampang putus aja. Dalam suatu diskusi aku dan papa sangat berbeda
pendapat, papa nggak mau mengalah pun aku juga, akhirnya kami bicara dengan
keras dan kasar, sampai aku menangis dan bilang bahwa papa sudah berubah. Dalam
tangisku aku minta papa kembali seperti dulu. Papa diam sejenak kemudian
meneruskan amarahnya. Sangat itu aku belum sadar betul bahwa begitu banyak
tekanan yang membuat papa goncang. Itu 3 hal yang aku ingat papa marah besar
padaku
dalam proses kedewasaanku aku semakin
hari semakin sadar bahwa aku punya papa yang sangat luar biasa. Dia sangat
bijak, penuh kasih, panjang sabar, dan tidak gegabah dalam mangambil keputusan.
Beliau selalu menjadi pendamai ketika ada orang-orang yang bermasalah. Dan doa
papa adalah doa terindah yang pernah aku dengar. Susunan kata yang muncul dari
kecapan mulutnya, isi yang jelas dan makna yang dalam untuk setiap kalimatnya,
sungguh sangat indah dan damai ketika mendengar doa yang diucapkan papaku. Aku
sangat mengagumi papaku.
Karena papaku anggota Partai Demokrasi
Indonesia, maka sejak kecil aku pendukung setia PDI mesti minoritas tapi aku
pede karena papaku juga begitu. Pemilu pertamaku aku datang bersama papa dan
dengan bangga masuk kebilik suara dan mencoblos no 3 PDI. Papa mengajarkan aku
apa itu politik, menurut papa politik itu lebih jahat dari dosa apapun. Dan
ketika kita berpolitik maka kita harus berpolitik bersih.
Aku ingat betul suasana makan pagi di
ruang makan, sambil membaca koran pagi papa bilang “mereka tidak kalah, penjara
akan membuat mereka pandai dan kuat, seperti bung karno” kata papa sambil
membaca berita tentang Budiman Soejatmiko dkk yang ditangkap dan di pencara
karena tuduhan subversib. Karenanya pada
saat aku memutuskan masuk partainya Budiman saat itu, papa cuman bilang kamu
sudah dewasa dan berhak punya pilihan politik sendiri. Cuman satu pesan papa,
jangan pernah tinggalkan Tuhan Yesus ya...pesan itu muncul karena berita bahwa
PRD adalah komunis dan anti Tuhan gencar. Komunis ternyata nggak anti Tuhan kok
pa...
Dalam aktivitasku berpartai, aku
menjual buku tentang holokaus peristiwa 65, karena sedang butuh dana aku
menawarkan kepada papa, dan papa berminat dengan buku itu. Membeli dan
membacanya. Ternyata papa punya pengalaman luar biasa setelah membaca buku
tersebut, papa yang aktivis GMKI pada tahun 65 itu bilang tak bisa tidur selama
dua minggu setelah membaca buku tersebut. “ternyata selama ini cerita tentang
65 itu bohong semua”, papa ternyata membayangkan kembali rentetan peristiwa
seperti yang tertulis dalam buku itu. Dalam perkembangannya papa juga sempet
menjadi pembicara bersama teman-teman aktivis mahasiswa di Semarang tentang kondisi
DPR/MPR paska 65, karena kebetulan papa pernah jadi anggota DPR/MPR RI pada
tahun 1971-1977 untuk PDI daerah pemilihan NTT.
Aku sangat dekat dengan papa, semua
kejadian yang aku alami aku pasti ceritakan kepapa. Termasuk pada saat munir
meninggal karena diracun, aku bagi kesedihanku dengan papaku. Papa selalu menguatkan, menhibur dan
mendamaikan hatiku...
situasi perpolitikan indonesia yang
semakin carut-marut selalu jadi bahan diskusiku ketika bertemu papa, atau
bahkan lewat telepon. Beliau adalah penasehat politikku dan penguatku yang
setia.
Kedekatanku dengan papa dan juga
ketergantunganku kepada papa, apa jadinya aku tanpa papa kan....
tapi Tuhan menjadikan segala sesuatu
indah pada waktunya. Menghadapi kepergian papa aku sangat dikuatkan oleh Tuhan
dengan keyakinan akan rencanaNYA yang selalu indah. Melihat mama tegar aku ikut tegar begitu juga adik-adikku....terimakasih Tuhan....
Kehilangan orang yang paling kita
cintai pasti bukan hal mudah, tapi yakin bahwa kita pasti dimampukan untuk
melewatinya dengan baik-baik saja.
Jakarta, 2 Juni 2009 jam 22.50 WIB
Untuk mamaku, mbah putriku dan
adik-adikku tersayang
17 Agustus Hari Kemerdekaan Kita
Hari Merdeka
Dulu dan Kini
Oleh : Sinnal Blegur
merah putih teruslah kau berkibar
di ujung tiang tertinggi di indonesiaku ini
merah putih teruslah kau berkibar
di ujung tiang tertinggi di indonesiaku ini
merah putih teruslah kau berkibar
ku akan selalu menjagamu
di ujung tiang tertinggi di indonesiaku ini
merah putih teruslah kau berkibar
di ujung tiang tertinggi di indonesiaku ini
merah putih teruslah kau berkibar
ku akan selalu menjagamu
syair refrein lagu
bendera oleh grup band coklat, semakin sering terdengar dalam
peristiwa-peristiwa nasional bangsa ini. Lagu dengan trend masa kini memang terasa
lebih enak didengar dan populer dimana-mana. Sementara kita lihat lagu mars Hari
Merdeka ciptaan Husein Mutahar atau H Mutahar yang merupakan lagu kebangsaan
Indonesia hanya terbatas terdengar di sekolah-sekolah dan instansi pemerintah.
Tujuh belas agustus tahun empat lima, Itulah hari kemerdekaan kita, Hari
merdeka nusa dan bangsa, Hari lahirnya bangsa Indonesia, Merdeka
Sekali merdeka tetap merdeka, Selama hayat masih di kandung badan, Kita tetap setia tetap setia, Mempertahankan Indonesia, Kita tetap setia tetap setia, Membela negara kita
Sekali merdeka tetap merdeka, Selama hayat masih di kandung badan, Kita tetap setia tetap setia, Mempertahankan Indonesia, Kita tetap setia tetap setia, Membela negara kita
Kita bukan hendak membandingkan kedua lagu tersebut
karena jelas mempunyai sisi historis yang berbeda sehingga banyak perbedaan
didalamnya. 64 tahun yang lalu Sukarno
Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Indonesia menyatakan
dirinya merdeka dari Belanda yang sudah menjajah 350 tahun lamanya. Itu yang dihafalkan
anak-anak ketika sekolah. Semua pengetahuan tentang kemerdekaan Indonesia
diharuskan dihafal oleh anak-anak sekolah. Ya Indonesia merdeka dari Belanda 64
tahun yang lalu itu saja.
Makna kemerdekaan tidak muncul ketika seseorang menghafal
tentunya, seperti halnya ketika seseorang menghafal semua materi MDH, belum
tentu dia berpikir secara MDH. Menghafal tanpa memahami adalah omong kosong,
celakanya sejak SD kita dipaksa menghafal, sungguh kasihan. Dan efek dari
menghafal kemerdekaan itu tampak dari peringatan setiap tanggal 17 Agustus.
Kita saksikan bersama bagaimana orang-orang sibuk mengadakan aneka lomba , menghias gapura, pawai,
panggung hiburan dll. Suatu keriaan bagi rakyat kecil sekedar melupakan beban
hidup yang berat. Ya itulah makna kemerdekaan yang dirasa masyarakat kecil,
merdeka sehari untuk sekedar bersenang-senang menikmati keriaan hari kemerdekaan,
karena esok mereka kembali kedalam rutinitas kemiskinan dan penderitaan hidup
karena minimnya pendapatan.
Hari merdeka 17 Agustus, dalam kontek kekinian
menghadapkan kita jauh dari kata
merdeka, buktinya : 1. kita tidak merdeka berobat ketika sakit mesti ada
jamkesmas, bahkan kawan2 insist bilang orang miskin dilarang sakit. 2. kita
tidak merdeka bersekolah, walaupun iklan sekolah gratis terus ditayangkan,
sekali lagi kawan2 insist bilang orang miskin dilarang sekolah. 3. kita tidak
merdeka bekerja karena minimnya lapangan kerja, sehingga semua orang tidak lagi
memprioritaskan keahliannya dan upah layak, karena yang penting kerja daripada
tidak sama sekali, dan itupun berebut
bahkan sampai harus jadi TKI/TKW. 4. hal-hal lain yang memang membuat kita
tidak pernah merasa merdeka seperti kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak
pernah tuntas, yang kritis dan berani dihilangkan bahkan di bunuh (penculikan
aktivis 97/98, pembunuhan Marsinah dan Munir), penguasa seenaknya dengan
kekuasaannya, korupsi dimana-mana, upah murah, larangan berserikat, UU
outsouching dan masih banyak lagi yang lainnya.
Semua hal diatas mau tidak mau membuat kita
mempertanyakan lagi makna kemerdekaan kita. Tahun 1945 kita merdeka dari
penjajah Belanda, dan tahun-tahun sesudahnya kita dijajah dengan model
penjajahan gaya baru (kasbi : 2008).
Model penjajahan gaya baru adalah penjajahan modal, dimana uang dalam
bentuk investasi dan pinjaman memposisikan bangsa Indonesia yang merdeka ini
sebagai negara hutang. Ada yang bilang hutang itu biasa semua juga punya
hutang. Tapi Indonesia negara kaya, dengan hasil bumi dan mineral, ditambah
lagi Indonesia sebagai pasar suatu produk. Jadi agak aneh jika Indonesia harus
berhutang, kecuali kalau dilihat berapa banyak jumlah koruptor dan penjilat
yang hidup subur dan makmur di Indonesia ya... Indonesia berhutang karena
adanya koruptor, bukan karena pemerintah Indonesia tidak mampu memberikan
kesejahteraan pada rakyatnya.
Dalam kondisi seperti ini menjadi penting bagi kita semua
untuk mencari tahu apa makna kemerdekaan bagi saya, bagi kolektif saya, bagi
komunitas saya dan bagi bangsa saya???. Dan apa yang bisa saya lakukan untuk
mendapatkan kemerdekaan itu. Apakah saya hanya bisa bergantung kepada
pemerintah, atau ada suatu hal yang bisa saya lakukan supaya saya dan generasi
mendatang bangsa ini tahu dengan pasti apa itu makna “merdeka”. Yang pasti
merdeka bukan sekedar jargon tapi merdeka adalah bagaimana kita sesama kelas
pekerja berjuang bersama untuk meraih merdeka, meraih kekuasaan untuk
menjadikan semua orang merdeka. Merdeka dalam berpikir, bersikap, bertindak
sesuai dengan keyakinan kita. Meraih
merdeka itu bukan suatu kemustahilan, asal kita memulainya dari saat ini.
Perkuat koordinasi, perkuat kolektivitas, lakukan pendidikan secara masif, mari
bersama-sama untuk sampai pada merdeka.
Rakyat pasti menang!!!
Selamatkan
Papua atas nama Kemanusiaan, Keadilan dan Kesejahteraan.
Pada tanggal 5-7 Juli 2011 di
Jayapura Papua di selenggarakan
Konferensi Damai Papua yang dihadiri oleh 500 perwakilan rakyat Papua
dan 300 orang peninjau. Dalam diskusi
dan sosialisasi konferensi damai papua
di kantor kontras (19/7/2011) Muridan Widjojo dan Neles Tebay hadir sebagai
narasumber. Menurut Muridan konferensi Damai Papua merupakan perjumpaan awal
antara rakyat Papua dengan pemerintah Jakarta dalam situasi yang saling
menghormati dan saling menghargai. Kehadiran Joko Suyanto (menkopolhukam) dan
jajarannya dalam konferensi tersebut dapat diartikan dukungan pemerintah dalam
konferensi tsb. Muridan juga menegaskan bahwa fungsi JDP adalah fasiliator
dalam proses Damai di Papua, ibarat jembatan kami baru bisa dilewati mobil 1
ton dan jangan paksa saya mampu dilewati 100 ton, krn pasti kami tidak mampu,
JDP butuh dukungan banyak pihak untuk bisa mendukung agenda dialog di Papua.
Sementara Pater Neles menegaskan bahwa ada tuduhan yang terbalik terhadap orang
Papua, yaitu “semua orang Papua itu separatis sampai ada bukti bahwa dia tidak
separatis”, padahal yang benar adalah “
semua orang Papua itu bukan separatis sampai ada bukti bahwa mereka separatis”.
Sejak tahun 2009 lalu muncul wacana
dialog bagi rakyat papua dalam upaya menyelesaikan masalah yang tak kunjung
selesai antara Papua dan Jakarta. Adalah JDP (Jaringan Damai Papua) yang
mengusung agenda dialog menyusul Papua Road Map yang dihasilnya oleh Muridan
Widjojo dkk di LIPI. Pemerintah merespon wacana dialog yang disampaikan dalam
pidato presiden SBY tanggal 16 Agustus 2010 bahwa ”Pemerintah dengan saksama terus mempelajari
dinamika yang ada di Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif
dalam pembangunan Papua yang lebih baik.” Ungkapan kunci dalam kutipan itu
adalah komunikasi yang konstruktif (Sabam Siagian, 21 Agustus, Komnas.com).
Wacana Dialog vs Komunikasi Konstruktif
dibaca sebagai Papua vs Jakarta. Rakyat Papua ingin dialog dan Jakarta ingin
komunikasi kontruktif. Seakan keduanya 2 hal yang berbeda dan layak
dipertentangkan. Padahal dari segi bahasa keduanya jelas tidak bertolak
belakang. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dialog adalah percakapan 2 orang
atau lebih. Sementara komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau
berita antara 2 orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksdud dipahami,
dan konstruktif adalah bersifat membina,
memperbaiki dan membangun. Berdasarkan arti dalam kamus bahasa Indonesia keduanya
jelas tidak bertentangan satu sama lain.
Pertentangan keduanya jelas bukan
sekedar beda kata arti sama, perbedaan mengacu pada sejarah yang belum selesai
hingga kini. Sering kita dengar bahwa ada akar masalah yang belum selesai di
Papua sejak 1 Desember 1961 dilanjutkan dengan persetujuan New York tahun
1962 dimana Belanda menyerahkan
Papua ke UNTEA (United Nation Temporary
Executive Authority) dan selanjutnya UNTEA menyerahkan Papua kepada Indonesia
(Papua Road Map, Muridan Widjojo, 2009). Berlanjut dengan proses pelaksanaan
PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) pada
tanggal 14 Juli – 4 Agustus 1969 di 7
wilayah di Papua. Dimana rakyat Papua diwakili oleh 1.025 orang. Yang oleh
Charlie Hill-Smith sutradara film documenter asal Australia dalam film
“Strange Birds in Paradise” merekam situasi
yang penuh tekanan dan intimidasi dalam proses menjelang pelaksanaan PEPERA
yang berujung kemenangan tuk bergabung dengan Indonesia. Socrates Yoman dalam
bukunya West Papua : Masalah Internsional
menegaskan kembali bahwa PEPERA tidak demokratis.
Reformasi bergulir di Indonesia
membawa angin segar dalam proses berdemokrasi, tapi ternyata tidak sampai di
Papua. KontraS mencacat beberapa pelanggaran HAM berat terjadi di Papua paska
reformasi : kasus Abepura (2000), Pembunuhan Theis (2001), kasus Wasior (2001),
kasus Wamena (2003). Bahkan di tahun 2010 KontraS mencatat ada 11 kasus
penyiksaan di Papua.
Di tahun 2011 perhatian nasional dan
internasional terhadap Papua bertambah. Kekerasan yang meningkat paska
diselenggarakan konferensi damai Papua. Kondisi ini sangat memprihantinkan,
disatu sisi sedang diupayakan penyelesaian Papua dengan damai lewat
dialog/komunikasi konstruktif, tapi disisi lain kekerasan terus terjadi di
Papua dan memakan korban.
ketidakkonsistenan ini bisa dinilai sebagai ketidakseriusan pemerintah
dalam menyelesaikan Papua. UU No 21/2001 tentang Otonomi yang sudah terlaksana 10 tahun dengan kucuran
dana mencapai 30 Triliun dinilai gagal karena tidak memberi peningkatan
kesejahteraan bagi rakyat Papua. Pembentukan provinsi Papua Barat di tahun 2004
seakan menbingungkan identitas bangsa
Papua yang menyebut dirinya sebagai West Papua.
Unit Percepatan Pembangunan Papua
dan Papua Barat (UP4B) yang merupakan strategi paling gress pemerintah
Indonesia untuk menyelesaikan masalah Papua, kurang mendapat respon positif
dari rakyat. Hal ini menjadi wajar ketika berulang kali kebijakan yang dibuat
pemerintah membawa kesejukan diawal tapi penderitaannya sampai akhir.
Kepercayaan menjadi barang mahal dan langka antara pemerintah Jakarta dengan
rakyat Papua.
Pada tanggal 15 September 2011
pemogokan yang dilakukan 8.000 buruh di PT Freeport Indonesia untuk menuntut
peningkatan kesejahteraan. Tanda tangan kontrak karya Freeport dilakukan pada
tahun 1967 (sebelum PEPERA) dan melakukan proses produksi sejak tahun 1971. Tak
terkira berapa besar uang yang sudah dihasilkan, yang jelas rakyat 7 suku
sebagian besar masih miskin. Perbedaan bumi dan langit antara Timika vs Koala
kencana dan tembagapura. Pemogokan buruh PT.Fi mendapat dukungan meluas di
Jakarta terutama sector buruh, mahasiswa,
perempuan, LSM dan organisasi rakyat. Freeport sebagai perusahaan
multinasional milik Amerika memperlihatkan secara nyata wajah bengis kapitalisme
(pemodal) yang mengeruk dan merampok emas di Papua tanpa mempedulikan rakyat dan
para pekerjanya. Gerakan anti Freeport juga mendapat dukungan dari gerakan
Occupy Jakarta sebagai respon masyarakat Jakarta terhadap 1%
(pemodal/kapitalis) yang menguasai 99% (rakyat mayoritas).
Konggres III Rakyat Papua yang digelar
pada tanggal 16-19 Oktober 2011 merupakan konsolidasi internal rakyat Papua untuk merumuskan agenda kedepan. Geliat
perlawanan rakyat Papua seakan menemukan muaranya. Sejak Musyawarah Besar
(Mubes) yang di fasilitasi oleh presiden
Gusdur tahun 1999 dilanjutkan dengan kongres Nasional II Rakyat Papua pada
tahun 2000. Theis Hiyo Eluay ketua Presidium Dewan Papua (PDP) dibunuh secara
kejam pada 10 November 2001. Sejak Theis meninggal, kepemimpinan Papua tidak
tergantikan hingga kini. Kongres III mengupayakan memilih pemimpin baru Papua.
Sebutan Presiden dan Perdana Menteri sangat menakutkan tentara dan polisi
sehingga peluru harus dimuntahkan dan 6
nyawa melayang. Di tahun 1999 Gusdur menfasilitasi dilaksanakannya Mubes dengan
bantuan 1 Milyar dan terpilih Theis sebagai ketua PDP, dan semua aman dan
bahagia. Kelompok Adat memainkan peran yang penting ditanah Papua, para kepala
suku dan ondoafi memainkan peran sebagai media untuk megkomunikasikan hal-hal
strategis kepada rakyat. Tapi dalam perkembangannya perpecahan terjadi dan
fungsi dewan adat tidak maksimal dalam melakukan persatuan gerakan rakyat
Papua. Mahasiswa dan pemuda papua diharapkan menjadi motor perubahan di Papua.
Berbagai organisasi Pemuda dan Mahasiswa terbentuk. Pengelompokan berdasarkan
suku, wilayah kerap terjadi dan isu/tuntutan kerap terjadi. Gerakan bersama
antara mahasiswa/pemuda dan adat dalam sejarahnya selalu mendapat dukungan dari
rakyat banyak. Tanggal 12 Agustus 2005 Dewan Adat Papua (DAP) mempelopori aksi
pengembalian otsus Papua kepada pemerintah Indonesia, aksi tersebut didukung
13.000 massa rakyat. Pengembalian otsus untuk kedua kalinya dilakukan pada
tanggal 18 Juni 2010 dimotori oleh Forum Demokrasi (fordem) dan sekali lagi
mendapat dukungan luas dari rakyat Papua.
Kampanye tingkat internasional dan
perjuangan bersenjata tidak bisa dilepaskan dalam perjuangan rakyat Papua.
Berbagai lobby internasional terus dilakukan oleh perwakilan Papua di luar
negri. Hingga saat ini pertemuan dari berbagai upaya perjuangan itu belum
dipertemukan. Papua dengan jumlah
penduduk 1,8 juta jiwa terdiri dari 250
lebih suku tentu bukan hal mudah untuk bicara persatuan. Akan tetapi jika
bicara tentang 1 Desember maka semua orang Papua seakan diikat secara historis
sebagai satu kekuatan besar. Peringatan 1 Desember dilalui dengan penaikan
bintang kejora yang menjadi momok menakutkan bagi pemerintah. Seakan-akan
dengan berkibarnya bendera maka Papua akan lepas dari pangkuan Indonesia. Para
pecundang kehilangan lapak hidup mewah mereka ketika Papua lepas. Pemerintah melalui
TNI Polri dengan slogan NKRI harga mati seakan lupa bahwa bangsa ini dibangun
dengan suatu kerelaan dan sama sekali bukan paksaan. TNI-Polri bahkan sah
melakukan pembunuhan atas nama kecintaan terhadap Negara. Mereka lupa bahwa
Negara mensyaratkan 3 hal yaitu adanya wilayah, adanya rakyat dan adanya
pemerintahan. Nyatanya Pemerintah melalui TNI-Polri melakukan pembunuhan
terhadap rakyat Papua demi wilayah (NKRI) dan demi Negara.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
alinea pertama menyatakan “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perkemanusiaan dan perikeadilan”. Sebagai anak bangsa yang
beradab dan menghargai kemanusiaan, tentu kita tidak ingin terjadi penindasan
dan penjajahan atas nama apapun di negri ini. Karena itu dukungan terhadap
pembebasan manusia atas manusia lain melampaui bangsa, bahasa, etnis dan ras. Mari
kita dukung segala bangsa yang berjuang dan memperoleh pembebasannya.
Jakarta, 5 Desember 2011
Sinnal Blegur
Resensi film Eine Fuau in Berlin
Anonyma, Eine
Fuau in Berlin (Woman in Berlin)
film ini
merupakan kisah nyata pengalaman seorang reporter perempuan pada perang dunia
kedua, saat pasukan Rusia (tentara merah) masuk dan menguasai Berlin pada bulan
April 1945. Sang reporter perampuan tersebut menuliskan semua pengalamannya
dalam suatu diary yang pada tahun 1953 dilarang terbit dan baru diterbitkan
lagi setelah mengalami revisi pada tahun 2003 di Amerika Serikat.Sang reporter
menulis diary ketika dia berusia 34 tahun tanpa pernah memperkenalkan namanya,
maka dia dikenal anonyma. Identitasnya
baru diketahui ketika dia meninggal tahun 2001, tapi masih tetap
dirahasiakan hingga kini.Bagi seorang berkebangsaan Jerman, apa yang dilakukan
anonyma adalah hal kotor dan tabu, sehingga tidak pernah ada keinginan
memperkenalkan identitasnya walaupun bukunya laris begitu juga pada saat dibuat
film.
Film berdurasi
2 jam 11 menit ini disutradarai oleh Max
Farberbock.dan termasuk jenis film
perang dan film feminis. Nina Hoss bintang papan atas Jerman memerankannya
dengan sangat bagus tokoh anonyma tersebut. Perdana diputar pada 17 Juli 2009
pada Berlin International Film festival.
adegan film
dimulai dengan adegan perang antara tentara Jerman dengan tentara Rusia,
puing-puing berserakan dalam situasi kota yang mencekam dengan bom dan
tembakan. Ada seorang perempuan reporter
dan jurnalis (Nina Hoss) berlari menuju penampungan dan bertemu dengan
banyak perempuan, beberapa laki-laki tua dan anak-anak. Tentara Jerman kalah
sehingga tentara merah masuk dan mengusai kota Berlin. Orang-orang
dipenampungan masih bingung dengan kondisi tersebut, apakah yang datang
penolong mereka atau musuh. Kebingungan terjawab ketika tentara merah mulai
memperkosa dan menyiksa perempuan-perempuan Jerman termasuk sang reporter. Sang
reporter yang kebetulan bisa berbahasa Rusia
mencoba minta batuan pada para atasan tapi diacuhkan, perkosaan berulang
dan berulang terjadi pada dirinya. Dalam
kepahitan dan deritanya sang reporter secara sadar mulai menyusun strategi untuk
keamanan dirinya. Dia menggunakan kesedihannya sebagai senjatanya, sebelumnya
dia adalah korban perkosaan (sebagai obyek), kemudian dia melacurkan diri
(menjadi subyek) demi keamanan diri dan orang-orang disekelilingnya. Kemudian dia mendatangi komandan tertinggi (diperankan
oleh Yevgeny Sidikhin) untuk menceritakan perkosaan yang dialami
perempuan-perempuan Jerman, dan komandan mau membantunya. Hubungan keduanya
merupakan hubungan yang komplek dan saling menguntungkan. Komandan bercerita
pada sang reporter bahwa tentara Jerman juga melakukan hal yang sama kepada
orang-orang Rusia, sehingga hal ini merupakan balas dendam. Dari seorang
peempuan Rusia yang bertugas sebagai palang merah diketahui bahwa istri
komandan tersebut dibunuh oleh tentara Jerman dengan cara digantung.
Film berbahasa
Jerman dan Rusia ini menarik untuk dilihat
bagaimana tentara merah sebagai tentara sosialis melakukan pemerkosaan terhadap
perempuan-perempuan Jerman. Lalu apa bedanya dengan tentara-tentara lain yang
juga melakukan pemerkosaan bahkan penyiksaan terhadap perempuan yang kalah
perang? pertanyaan kritisnya adalah bagaimana kesadaran kaum sosialis terhadap
kesetaraan gender. Berbagai spekulasi muncul salah tiganya adalah : pertama ada
unsur balas dendam, yang kedua adalah tentara yang sedang berperang tentu
kondisinya sangat stress dan tertekan sehingga tidak bisa menggunakan akal
sehatnya lagi. Hal ketiga adalah tentara tidak mendapatkan materi-materi marxis
termasuk kesetaraan gender, sehingga tidak ada kesadaran tentang itu.
Fim ini
merupakan film yang sangat memberikan penekanan pada perempuan korban perkosaan
dalam perang, istilah bahwa perempuan merupakan barang rampasan dalam perang,
seringkali dilupakan. Orang hanya teringat bagaimana kondisi emosional tentara
laki-laki yang berperang dengan pilihan
hidup atau mati, tekanan emosional mereka dan sebagainya. Melalui film women in
Berlin kita diajak melihat sisi perempuan dalam perang.
Bagian akhir
film menceritakan suami sang reporter yang juga berperang ,pulang dan
menemuinya. Tanpa banyak bicara sang reporter menyerahkan diarynya untuk dibaca
sang suami, sang suami marah dan tidak terima, dia menganggap sang reporter
tidak bermoral dan kotor. Sang reporter menjadi korban lagi karena suaminya
menolak dan meninggalkannya. Dalam tulisan di bagian akhir film dijelaskan
bahwa sang reporter harus menanggung beban hidupnya sendiri sekaligus tuduhan
amoral pada dirinya.
Begitu
menyedihkan nasib sang reporter yang merupakan perempuan luar biasa yang
menyusun strategi untuk hidup dalam penderitaannya demi keamanan dirinya dan
orang-orang disekitarnya. Ketidakadilan yang diterima sang reporter adalah :
perkosaan dan penyiksaan, strateginya dianggap tidak bermoral dan dia ditolak
oleh suaminya, bukunya dilarang terbit karena dianggap tidak bermoral dan
perempuan kotor, dan yang terakhir adalah begitu dasyat perasaan bersalah yang dialaminya sehingga sang repoter menyembunyikan
identitas dirinya sampai kematian menjemputnya.
Menjadi catatan
penting bagi perjuangan kelas pekerja, bahwa kesetaraan gender adalah bagian
dari perjuangan kelas pekerja melawan sistem yang menindas rakyat, sehingga
kesadaraan bahwa perempuan dan laki-laki itu setara tidak hanya kesadaran dalam
buku, dalam diskusi dan dalam pendidikan-pendidikan. Kesadaran tentang
kesetaraan perempuan dan laki-laki harus termaterialkan dalam berpikir dan
berperilaku sehari-hari. Bangunlah kelas pekerja untuk kesejahteraan mayoritas
rakyat.
Oleh Sinnal
Blegur
didukung oleh
Samiyem, Yuyut, Ibeth dan Ken Ndaru
Langganan:
Postingan (Atom)