film ini
merupakan kisah nyata pengalaman seorang reporter perempuan pada perang dunia
kedua, saat pasukan Rusia (tentara merah) masuk dan menguasai Berlin pada bulan
April 1945. Sang reporter perampuan tersebut menuliskan semua pengalamannya
dalam suatu diary yang pada tahun 1953 dilarang terbit dan baru diterbitkan
lagi setelah mengalami revisi pada tahun 2003 di Amerika Serikat.Sang reporter
menulis diary ketika dia berusia 34 tahun tanpa pernah memperkenalkan namanya,
maka dia dikenal anonyma. Identitasnya
baru diketahui ketika dia meninggal tahun 2001, tapi masih tetap
dirahasiakan hingga kini.Bagi seorang berkebangsaan Jerman, apa yang dilakukan
anonyma adalah hal kotor dan tabu, sehingga tidak pernah ada keinginan
memperkenalkan identitasnya walaupun bukunya laris begitu juga pada saat dibuat
film.
Film berdurasi
2 jam 11 menit ini disutradarai oleh Max
Farberbock.dan termasuk jenis film
perang dan film feminis. Nina Hoss bintang papan atas Jerman memerankannya
dengan sangat bagus tokoh anonyma tersebut. Perdana diputar pada 17 Juli 2009
pada Berlin International Film festival.
adegan film
dimulai dengan adegan perang antara tentara Jerman dengan tentara Rusia,
puing-puing berserakan dalam situasi kota yang mencekam dengan bom dan
tembakan. Ada seorang perempuan reporter
dan jurnalis (Nina Hoss) berlari menuju penampungan dan bertemu dengan
banyak perempuan, beberapa laki-laki tua dan anak-anak. Tentara Jerman kalah
sehingga tentara merah masuk dan mengusai kota Berlin. Orang-orang
dipenampungan masih bingung dengan kondisi tersebut, apakah yang datang
penolong mereka atau musuh. Kebingungan terjawab ketika tentara merah mulai
memperkosa dan menyiksa perempuan-perempuan Jerman termasuk sang reporter. Sang
reporter yang kebetulan bisa berbahasa Rusia
mencoba minta batuan pada para atasan tapi diacuhkan, perkosaan berulang
dan berulang terjadi pada dirinya. Dalam
kepahitan dan deritanya sang reporter secara sadar mulai menyusun strategi untuk
keamanan dirinya. Dia menggunakan kesedihannya sebagai senjatanya, sebelumnya
dia adalah korban perkosaan (sebagai obyek), kemudian dia melacurkan diri
(menjadi subyek) demi keamanan diri dan orang-orang disekelilingnya. Kemudian dia mendatangi komandan tertinggi (diperankan
oleh Yevgeny Sidikhin) untuk menceritakan perkosaan yang dialami
perempuan-perempuan Jerman, dan komandan mau membantunya. Hubungan keduanya
merupakan hubungan yang komplek dan saling menguntungkan. Komandan bercerita
pada sang reporter bahwa tentara Jerman juga melakukan hal yang sama kepada
orang-orang Rusia, sehingga hal ini merupakan balas dendam. Dari seorang
peempuan Rusia yang bertugas sebagai palang merah diketahui bahwa istri
komandan tersebut dibunuh oleh tentara Jerman dengan cara digantung.
Film berbahasa
Jerman dan Rusia ini menarik untuk dilihat
bagaimana tentara merah sebagai tentara sosialis melakukan pemerkosaan terhadap
perempuan-perempuan Jerman. Lalu apa bedanya dengan tentara-tentara lain yang
juga melakukan pemerkosaan bahkan penyiksaan terhadap perempuan yang kalah
perang? pertanyaan kritisnya adalah bagaimana kesadaran kaum sosialis terhadap
kesetaraan gender. Berbagai spekulasi muncul salah tiganya adalah : pertama ada
unsur balas dendam, yang kedua adalah tentara yang sedang berperang tentu
kondisinya sangat stress dan tertekan sehingga tidak bisa menggunakan akal
sehatnya lagi. Hal ketiga adalah tentara tidak mendapatkan materi-materi marxis
termasuk kesetaraan gender, sehingga tidak ada kesadaran tentang itu.
Fim ini
merupakan film yang sangat memberikan penekanan pada perempuan korban perkosaan
dalam perang, istilah bahwa perempuan merupakan barang rampasan dalam perang,
seringkali dilupakan. Orang hanya teringat bagaimana kondisi emosional tentara
laki-laki yang berperang dengan pilihan
hidup atau mati, tekanan emosional mereka dan sebagainya. Melalui film women in
Berlin kita diajak melihat sisi perempuan dalam perang.
Bagian akhir
film menceritakan suami sang reporter yang juga berperang ,pulang dan
menemuinya. Tanpa banyak bicara sang reporter menyerahkan diarynya untuk dibaca
sang suami, sang suami marah dan tidak terima, dia menganggap sang reporter
tidak bermoral dan kotor. Sang reporter menjadi korban lagi karena suaminya
menolak dan meninggalkannya. Dalam tulisan di bagian akhir film dijelaskan
bahwa sang reporter harus menanggung beban hidupnya sendiri sekaligus tuduhan
amoral pada dirinya.
Begitu
menyedihkan nasib sang reporter yang merupakan perempuan luar biasa yang
menyusun strategi untuk hidup dalam penderitaannya demi keamanan dirinya dan
orang-orang disekitarnya. Ketidakadilan yang diterima sang reporter adalah :
perkosaan dan penyiksaan, strateginya dianggap tidak bermoral dan dia ditolak
oleh suaminya, bukunya dilarang terbit karena dianggap tidak bermoral dan
perempuan kotor, dan yang terakhir adalah begitu dasyat perasaan bersalah yang dialaminya sehingga sang repoter menyembunyikan
identitas dirinya sampai kematian menjemputnya.
Menjadi catatan
penting bagi perjuangan kelas pekerja, bahwa kesetaraan gender adalah bagian
dari perjuangan kelas pekerja melawan sistem yang menindas rakyat, sehingga
kesadaraan bahwa perempuan dan laki-laki itu setara tidak hanya kesadaran dalam
buku, dalam diskusi dan dalam pendidikan-pendidikan. Kesadaran tentang
kesetaraan perempuan dan laki-laki harus termaterialkan dalam berpikir dan
berperilaku sehari-hari. Bangunlah kelas pekerja untuk kesejahteraan mayoritas
rakyat.
Oleh Sinnal
Blegur
didukung oleh
Samiyem, Yuyut, Ibeth dan Ken Ndaru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar