Selasa, 14 Februari 2012

Resensi film Eine Fuau in Berlin

Anonyma, Eine Fuau in Berlin (Woman in Berlin)


film ini merupakan kisah nyata pengalaman seorang reporter perempuan pada perang dunia kedua, saat pasukan Rusia (tentara merah) masuk dan menguasai Berlin pada bulan April 1945. Sang reporter perampuan tersebut menuliskan semua pengalamannya dalam suatu diary yang pada tahun 1953 dilarang terbit dan baru diterbitkan lagi setelah mengalami revisi pada tahun 2003 di Amerika Serikat.Sang reporter menulis diary ketika dia berusia 34 tahun tanpa pernah memperkenalkan namanya, maka dia  dikenal anonyma. Identitasnya baru  diketahui ketika dia  meninggal tahun 2001, tapi masih tetap dirahasiakan hingga kini.Bagi seorang berkebangsaan Jerman, apa yang dilakukan anonyma adalah hal kotor dan tabu, sehingga tidak pernah ada keinginan memperkenalkan identitasnya walaupun bukunya laris begitu juga pada saat dibuat film.

Film berdurasi 2 jam 11 menit  ini disutradarai oleh Max Farberbock.dan termasuk  jenis film perang dan film feminis. Nina Hoss bintang papan atas Jerman memerankannya dengan sangat bagus tokoh anonyma tersebut. Perdana diputar pada 17 Juli 2009 pada Berlin International Film festival.
  
adegan film dimulai dengan adegan perang antara tentara Jerman dengan tentara Rusia, puing-puing berserakan dalam situasi kota yang mencekam dengan bom dan tembakan. Ada seorang perempuan reporter  dan jurnalis (Nina Hoss) berlari menuju penampungan dan bertemu dengan banyak perempuan, beberapa laki-laki tua dan anak-anak. Tentara Jerman kalah sehingga tentara merah masuk dan mengusai kota Berlin. Orang-orang dipenampungan masih bingung dengan kondisi tersebut, apakah yang datang penolong mereka atau musuh. Kebingungan terjawab ketika tentara merah mulai memperkosa dan menyiksa perempuan-perempuan Jerman termasuk sang reporter. Sang reporter yang kebetulan bisa berbahasa Rusia  mencoba minta batuan pada para atasan tapi diacuhkan, perkosaan berulang dan berulang terjadi pada dirinya.   Dalam kepahitan dan deritanya sang reporter secara sadar mulai menyusun strategi untuk keamanan dirinya. Dia menggunakan kesedihannya sebagai senjatanya, sebelumnya dia adalah korban perkosaan (sebagai obyek), kemudian dia melacurkan diri (menjadi subyek) demi keamanan diri dan orang-orang disekelilingnya. Kemudian  dia mendatangi komandan tertinggi (diperankan oleh Yevgeny Sidikhin) untuk menceritakan perkosaan yang dialami perempuan-perempuan Jerman, dan komandan mau membantunya. Hubungan keduanya merupakan hubungan yang komplek dan saling menguntungkan. Komandan bercerita pada sang reporter bahwa tentara Jerman juga melakukan hal yang sama kepada orang-orang Rusia, sehingga hal ini merupakan balas dendam. Dari seorang peempuan Rusia yang bertugas sebagai palang merah diketahui bahwa istri komandan tersebut dibunuh oleh tentara Jerman dengan cara digantung.

Film berbahasa Jerman dan Rusia ini  menarik untuk dilihat bagaimana tentara merah sebagai tentara sosialis melakukan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan Jerman. Lalu apa bedanya dengan tentara-tentara lain yang juga melakukan pemerkosaan bahkan penyiksaan terhadap perempuan yang kalah perang? pertanyaan kritisnya adalah bagaimana kesadaran kaum sosialis terhadap kesetaraan gender. Berbagai spekulasi muncul salah tiganya adalah : pertama ada unsur balas dendam, yang kedua adalah tentara yang sedang berperang tentu kondisinya sangat stress dan tertekan sehingga tidak bisa menggunakan akal sehatnya lagi. Hal ketiga adalah tentara tidak mendapatkan materi-materi marxis termasuk kesetaraan gender, sehingga tidak ada kesadaran tentang itu.

Fim ini merupakan film yang sangat memberikan penekanan pada perempuan korban perkosaan dalam perang, istilah bahwa perempuan merupakan barang rampasan dalam perang, seringkali dilupakan. Orang hanya teringat bagaimana kondisi emosional tentara laki-laki  yang berperang dengan pilihan hidup atau mati, tekanan emosional mereka dan sebagainya. Melalui film women in Berlin kita diajak melihat sisi perempuan dalam perang.

Bagian akhir film menceritakan suami sang reporter yang juga berperang ,pulang dan menemuinya. Tanpa banyak bicara sang reporter menyerahkan diarynya untuk dibaca sang suami, sang suami marah dan tidak terima, dia menganggap sang reporter tidak bermoral dan kotor. Sang reporter menjadi korban lagi karena suaminya menolak dan meninggalkannya. Dalam tulisan di bagian akhir film dijelaskan bahwa sang reporter harus menanggung beban hidupnya sendiri sekaligus tuduhan amoral pada dirinya.

Begitu menyedihkan nasib sang reporter yang merupakan perempuan luar biasa yang menyusun strategi untuk hidup dalam penderitaannya demi keamanan dirinya dan orang-orang disekitarnya. Ketidakadilan yang diterima sang reporter adalah : perkosaan dan penyiksaan, strateginya dianggap tidak bermoral dan dia ditolak oleh suaminya, bukunya dilarang terbit karena dianggap tidak bermoral dan perempuan kotor, dan yang terakhir adalah begitu dasyat perasaan bersalah  yang dialaminya sehingga sang repoter menyembunyikan identitas dirinya sampai kematian menjemputnya.

Menjadi catatan penting bagi perjuangan kelas pekerja, bahwa kesetaraan gender adalah bagian dari perjuangan kelas pekerja melawan sistem yang menindas rakyat, sehingga kesadaraan bahwa perempuan dan laki-laki itu setara tidak hanya kesadaran dalam buku, dalam diskusi dan dalam pendidikan-pendidikan. Kesadaran tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki harus termaterialkan dalam berpikir dan berperilaku sehari-hari. Bangunlah kelas pekerja untuk kesejahteraan mayoritas rakyat.

Oleh Sinnal Blegur
didukung oleh Samiyem, Yuyut, Ibeth dan Ken Ndaru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar