Pernyataan Sikap Komnas Perempuan
Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
25 Februari 2012
Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
25 Februari 2012
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelumnya, Pasal 43 ayat (1) hanya mengakui hubungan keperdataan anak di luar perkawinan dengan ibunya saja. Padahal, anak lahir pasti mempunyai ibu dan bapak. Artinya, seharusnya anak tidak saja memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, melainkan juga memiliki hubungan keperdataan dengan bapak/keluarga bapak. Keberadaan hubungan keperdataan ini mendorong pemenuhan hak-hak anak oleh orang tuanya yang sesungguhnya memikul tanggung jawab untuk itu, terlepas dari sah tidaknya perkawinan mereka menurut hukum negara.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa putusan ini sejalan dengan UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Sepanjang 2011, Komnas Perempuan menerima langsung pengaduan anak di luar perkawinan sebanyak 19 kasus, yaitu 12 kasus karena ibu menjadi korban kekerasan dalam pacaran, 2 kasus akibat perkosaan, 4 kasus akibat ibu terjebak dalam kejahatan perkawinan yang dilakukan suami yang masih terikat perkawinan lain, dan hanya satu kasus akibat perkawinan siri. Dari seluruh kasus yang diadukan, tidak satupun dari pelaku/laki-laki yang memenuhi tanggung jawabnya atas status hukum dan dukungan nafkah bagi anak yang dilahirkan. Sementara anak tumbuh dalam stigma sebagai anak haram, sang ibu/perempuan menanggung beban stigma masyarakat sebagai perempuan tidak baik/pezina dan beban orang tua tunggal yang menanggung seluruh biaya merawat anak. Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat meminimalkan terjadinya kekerasan berlapis pada perempuan/ibu.
Komnas Perempuan juga berpendapat bahwa putusan ini menegaskan urgensi negara mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai bentuk perlindungan negara kepada pihak-pihak dalam perkawinan. Sebagaimana pula disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida, kewajiban pencatatan perkawinan juga penting dalam menghindari kecenderungan inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut, seperti praktik penelantaran istri dan anak, kawin kontrak, dan kawin siri sebagai cara untuk berpoligami tanpa persetujuan istri. Dengan demikian, putusan ini harus dimaknai bukan sebagai normalisasi, apalagi legitimasi, pada praktik inkonsistensi tersebut yang jelas berujung pada kekerasan terhadap perempuan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini juga mempunyai arti penting bagi pemenuhan hak konstitusional masyarakat penghayat kepercayaan. Sampai saat ini, meski telah ada Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, masyarakat penghayat kepercayaan masih menghadapi hambatan mencatatkan perwakinannya yang diselenggarakan menurut kepercayaannya itu. Situasi serupa juga dihadapi oleh sejumlah kelompok agama minoritas yang mengalami diskriminasi. Akibatnya, selama ini anak hanya dicatatkan memiliki hubungan perdata dengan ibunya, dan pihak perempuan yang ada di dalam perkawinan ini juga tidak memperoleh perlindungan hukum.
Untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Komnas Perempuan:
Kontak Komnas Perempuan:
• Kunthi Tridewiyanti – Komisioner, Ketua Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (0817825734)
• Ninik Rahayu – Komisioner, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan(08170143009)
• Tumbu Saraswati – Komisioner, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (0816744832)
Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelumnya, Pasal 43 ayat (1) hanya mengakui hubungan keperdataan anak di luar perkawinan dengan ibunya saja. Padahal, anak lahir pasti mempunyai ibu dan bapak. Artinya, seharusnya anak tidak saja memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, melainkan juga memiliki hubungan keperdataan dengan bapak/keluarga bapak. Keberadaan hubungan keperdataan ini mendorong pemenuhan hak-hak anak oleh orang tuanya yang sesungguhnya memikul tanggung jawab untuk itu, terlepas dari sah tidaknya perkawinan mereka menurut hukum negara.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa putusan ini sejalan dengan UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Sepanjang 2011, Komnas Perempuan menerima langsung pengaduan anak di luar perkawinan sebanyak 19 kasus, yaitu 12 kasus karena ibu menjadi korban kekerasan dalam pacaran, 2 kasus akibat perkosaan, 4 kasus akibat ibu terjebak dalam kejahatan perkawinan yang dilakukan suami yang masih terikat perkawinan lain, dan hanya satu kasus akibat perkawinan siri. Dari seluruh kasus yang diadukan, tidak satupun dari pelaku/laki-laki yang memenuhi tanggung jawabnya atas status hukum dan dukungan nafkah bagi anak yang dilahirkan. Sementara anak tumbuh dalam stigma sebagai anak haram, sang ibu/perempuan menanggung beban stigma masyarakat sebagai perempuan tidak baik/pezina dan beban orang tua tunggal yang menanggung seluruh biaya merawat anak. Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat meminimalkan terjadinya kekerasan berlapis pada perempuan/ibu.
Komnas Perempuan juga berpendapat bahwa putusan ini menegaskan urgensi negara mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai bentuk perlindungan negara kepada pihak-pihak dalam perkawinan. Sebagaimana pula disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida, kewajiban pencatatan perkawinan juga penting dalam menghindari kecenderungan inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut, seperti praktik penelantaran istri dan anak, kawin kontrak, dan kawin siri sebagai cara untuk berpoligami tanpa persetujuan istri. Dengan demikian, putusan ini harus dimaknai bukan sebagai normalisasi, apalagi legitimasi, pada praktik inkonsistensi tersebut yang jelas berujung pada kekerasan terhadap perempuan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini juga mempunyai arti penting bagi pemenuhan hak konstitusional masyarakat penghayat kepercayaan. Sampai saat ini, meski telah ada Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, masyarakat penghayat kepercayaan masih menghadapi hambatan mencatatkan perwakinannya yang diselenggarakan menurut kepercayaannya itu. Situasi serupa juga dihadapi oleh sejumlah kelompok agama minoritas yang mengalami diskriminasi. Akibatnya, selama ini anak hanya dicatatkan memiliki hubungan perdata dengan ibunya, dan pihak perempuan yang ada di dalam perkawinan ini juga tidak memperoleh perlindungan hukum.
Untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Komnas Perempuan:
- Mendorong aparat penegak hukum, terutama Hakim untuk menggunakan putusan ini dalam memutus perkara terkait dengan hak anak pada hubungan perdata dengan ayah biologisnya;
- Mendorong pemerintah, utamanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I agar segera menyosialisasikan keputusan ini dalam koordinasi lintas kementrian/lembaga, terkait Surat Keputusan Menteri KPPPA No. 1 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bagi Perempuan dan Anak korban. Hal ini penting guna mempersiapkan layanan dukungan yang dibutuhkan ibu dan anak di luar perkawinan dalam upaya mendapatkan pengakuan sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi;
- Mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera merevisi UU Perkawinan agar substansinya dapat memenuhi kebutuhan hukum dan rasa keadilan warga negara khususnya perempuan, dengan mengintegrasikan putusan Mahkamah Konstitusi ini, termasuk mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai syarat perkawinan yang sah dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan dengan konstruksi hukum negara mengenai perkawinan dan administrasi kependudukan;
- Mengajak masyarakat untuk memberikan dukungan dalam proses hukum yang dilakukan perempuan korban kekerasan dalam memperjuangkan hak keperdataan anaknya dari pihak bapak/keluarga bapak, sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
Kontak Komnas Perempuan:
• Kunthi Tridewiyanti – Komisioner, Ketua Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (0817825734)
• Ninik Rahayu – Komisioner, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan(08170143009)
• Tumbu Saraswati – Komisioner, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (0816744832)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar