Selasa, 14 Februari 2012


Selamatkan Papua atas nama Kemanusiaan, Keadilan dan Kesejahteraan.


Pada tanggal 5-7 Juli 2011 di Jayapura Papua di selenggarakan  Konferensi Damai Papua yang dihadiri oleh 500 perwakilan rakyat Papua dan 300 orang peninjau.  Dalam diskusi dan sosialisasi konferensi damai  papua di kantor kontras (19/7/2011) Muridan Widjojo dan Neles Tebay hadir sebagai narasumber. Menurut Muridan konferensi Damai Papua merupakan perjumpaan awal antara rakyat Papua dengan pemerintah Jakarta dalam situasi yang saling menghormati dan saling menghargai. Kehadiran Joko Suyanto (menkopolhukam) dan jajarannya dalam konferensi tersebut dapat diartikan dukungan pemerintah dalam konferensi tsb. Muridan juga menegaskan bahwa fungsi JDP adalah fasiliator dalam proses Damai di Papua, ibarat jembatan kami baru bisa dilewati mobil 1 ton dan jangan paksa saya mampu dilewati 100 ton, krn pasti kami tidak mampu, JDP butuh dukungan banyak pihak untuk bisa mendukung agenda dialog di Papua. Sementara Pater Neles menegaskan bahwa ada tuduhan yang terbalik terhadap orang Papua, yaitu “semua orang Papua itu separatis sampai ada bukti bahwa dia tidak separatis”, padahal yang benar  adalah “ semua orang Papua itu bukan separatis sampai ada bukti bahwa mereka separatis”.
Sejak tahun 2009 lalu muncul wacana dialog bagi rakyat papua dalam upaya menyelesaikan masalah yang tak kunjung selesai antara Papua dan Jakarta. Adalah JDP (Jaringan Damai Papua) yang mengusung agenda dialog menyusul Papua Road Map yang dihasilnya oleh Muridan Widjojo dkk di LIPI. Pemerintah merespon wacana dialog yang disampaikan dalam pidato presiden SBY tanggal 16 Agustus 2010 bahwa  ”Pemerintah dengan saksama terus mempelajari dinamika yang ada di Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang lebih baik.” Ungkapan kunci dalam kutipan itu adalah komunikasi yang konstruktif (Sabam Siagian, 21 Agustus, Komnas.com). Wacana Dialog vs Komunikasi  Konstruktif dibaca sebagai Papua vs Jakarta. Rakyat Papua ingin dialog dan Jakarta ingin komunikasi kontruktif. Seakan keduanya 2 hal yang berbeda dan layak dipertentangkan. Padahal dari segi bahasa keduanya jelas tidak bertolak belakang. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dialog adalah percakapan 2 orang atau lebih. Sementara komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara 2 orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksdud dipahami, dan  konstruktif adalah bersifat membina, memperbaiki dan membangun. Berdasarkan arti dalam kamus bahasa Indonesia keduanya jelas tidak bertentangan satu sama lain.
Pertentangan keduanya jelas bukan sekedar beda kata arti sama, perbedaan mengacu pada sejarah yang belum selesai hingga kini. Sering kita dengar bahwa ada akar masalah yang belum selesai di Papua sejak 1 Desember 1961 dilanjutkan dengan persetujuan New York tahun 1962  dimana Belanda menyerahkan Papua  ke UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority) dan selanjutnya UNTEA menyerahkan Papua kepada Indonesia (Papua Road Map, Muridan Widjojo, 2009). Berlanjut dengan proses pelaksanaan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat)  pada tanggal 14 Juli – 4 Agustus 1969 di  7 wilayah di Papua. Dimana rakyat Papua diwakili oleh 1.025 orang.  Yang oleh  Charlie Hill-Smith sutradara film documenter asal Australia dalam film “Strange Birds in Paradise” merekam  situasi yang penuh tekanan dan intimidasi dalam proses menjelang pelaksanaan PEPERA yang berujung kemenangan tuk bergabung dengan Indonesia. Socrates Yoman dalam bukunya West Papua : Masalah Internsional  menegaskan kembali bahwa PEPERA tidak demokratis.
Reformasi bergulir di Indonesia membawa angin segar dalam proses berdemokrasi, tapi ternyata tidak sampai di Papua. KontraS mencacat beberapa pelanggaran HAM berat terjadi di Papua paska reformasi : kasus Abepura (2000), Pembunuhan Theis (2001), kasus Wasior (2001), kasus Wamena (2003). Bahkan di tahun 2010 KontraS mencatat ada 11 kasus penyiksaan di Papua.
Di tahun 2011 perhatian nasional dan internasional terhadap Papua bertambah. Kekerasan yang meningkat paska diselenggarakan konferensi damai Papua. Kondisi ini sangat memprihantinkan, disatu sisi sedang diupayakan penyelesaian Papua dengan damai lewat dialog/komunikasi konstruktif, tapi disisi lain kekerasan terus terjadi di Papua dan memakan korban.  ketidakkonsistenan ini bisa dinilai sebagai ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan Papua. UU No 21/2001 tentang Otonomi  yang sudah terlaksana 10 tahun dengan kucuran dana mencapai 30 Triliun dinilai gagal karena tidak memberi peningkatan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Pembentukan provinsi Papua Barat di tahun 2004 seakan menbingungkan  identitas bangsa Papua yang menyebut dirinya sebagai West Papua.
Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang merupakan strategi paling gress pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan masalah Papua, kurang mendapat respon positif dari rakyat. Hal ini menjadi wajar ketika berulang kali kebijakan yang dibuat pemerintah membawa kesejukan diawal tapi penderitaannya sampai akhir. Kepercayaan menjadi barang mahal dan langka antara pemerintah Jakarta dengan rakyat Papua.
Pada tanggal 15 September 2011 pemogokan yang dilakukan 8.000 buruh di PT Freeport Indonesia untuk menuntut peningkatan kesejahteraan. Tanda tangan kontrak karya Freeport dilakukan pada tahun 1967 (sebelum PEPERA) dan melakukan proses produksi sejak tahun 1971. Tak terkira berapa besar uang yang sudah dihasilkan, yang jelas rakyat 7 suku sebagian besar masih miskin. Perbedaan bumi dan langit antara Timika vs Koala kencana dan tembagapura. Pemogokan buruh PT.Fi mendapat dukungan meluas di Jakarta terutama sector buruh, mahasiswa,  perempuan, LSM dan organisasi rakyat. Freeport sebagai perusahaan multinasional milik Amerika memperlihatkan secara nyata wajah bengis kapitalisme (pemodal) yang mengeruk dan merampok emas di Papua tanpa mempedulikan rakyat dan para pekerjanya. Gerakan anti Freeport juga mendapat dukungan dari gerakan Occupy Jakarta sebagai respon masyarakat Jakarta terhadap 1% (pemodal/kapitalis) yang menguasai 99% (rakyat mayoritas).
Konggres III Rakyat Papua yang digelar pada tanggal 16-19 Oktober 2011 merupakan konsolidasi internal rakyat Papua  untuk merumuskan agenda kedepan. Geliat perlawanan rakyat Papua seakan menemukan muaranya. Sejak Musyawarah Besar (Mubes) yang  di fasilitasi oleh presiden Gusdur tahun 1999 dilanjutkan dengan kongres Nasional II Rakyat Papua pada tahun 2000. Theis Hiyo Eluay ketua Presidium Dewan Papua (PDP) dibunuh secara kejam pada 10 November 2001. Sejak Theis meninggal, kepemimpinan Papua tidak tergantikan hingga kini. Kongres III mengupayakan memilih pemimpin baru Papua. Sebutan Presiden dan Perdana Menteri sangat menakutkan tentara dan polisi sehingga peluru harus  dimuntahkan dan 6 nyawa melayang. Di tahun 1999 Gusdur menfasilitasi dilaksanakannya Mubes dengan bantuan 1 Milyar dan terpilih Theis sebagai ketua PDP, dan semua aman dan bahagia. Kelompok Adat memainkan peran yang penting ditanah Papua, para kepala suku dan ondoafi memainkan peran sebagai media untuk megkomunikasikan hal-hal strategis kepada rakyat. Tapi dalam perkembangannya perpecahan terjadi dan fungsi dewan adat tidak maksimal dalam melakukan persatuan gerakan rakyat Papua. Mahasiswa dan pemuda papua diharapkan menjadi motor perubahan di Papua. Berbagai organisasi Pemuda dan Mahasiswa terbentuk. Pengelompokan berdasarkan suku, wilayah kerap terjadi dan isu/tuntutan kerap terjadi. Gerakan bersama antara mahasiswa/pemuda dan adat dalam sejarahnya selalu mendapat dukungan dari rakyat banyak. Tanggal 12 Agustus 2005 Dewan Adat Papua (DAP) mempelopori aksi pengembalian otsus Papua kepada pemerintah Indonesia, aksi tersebut didukung 13.000 massa rakyat. Pengembalian otsus untuk kedua kalinya dilakukan pada tanggal 18 Juni 2010 dimotori oleh Forum Demokrasi (fordem) dan sekali lagi mendapat dukungan luas dari rakyat Papua.
Kampanye tingkat internasional dan perjuangan bersenjata tidak bisa dilepaskan dalam perjuangan rakyat Papua. Berbagai lobby internasional terus dilakukan oleh perwakilan Papua di luar negri. Hingga saat ini pertemuan dari berbagai upaya perjuangan itu belum dipertemukan. Papua  dengan jumlah penduduk 1,8 juta jiwa terdiri dari  250 lebih suku tentu bukan hal mudah untuk bicara persatuan. Akan tetapi jika bicara tentang 1 Desember maka semua orang Papua seakan diikat secara historis sebagai  satu kekuatan besar.  Peringatan 1 Desember dilalui dengan penaikan bintang kejora yang menjadi momok menakutkan bagi pemerintah. Seakan-akan dengan berkibarnya bendera maka Papua akan lepas dari pangkuan Indonesia. Para pecundang kehilangan lapak hidup mewah mereka ketika Papua lepas. Pemerintah melalui TNI Polri dengan slogan NKRI harga mati seakan lupa bahwa bangsa ini dibangun dengan suatu kerelaan dan sama sekali bukan paksaan. TNI-Polri bahkan sah melakukan pembunuhan atas nama kecintaan terhadap Negara. Mereka lupa bahwa Negara mensyaratkan 3 hal yaitu adanya wilayah, adanya rakyat dan adanya pemerintahan. Nyatanya Pemerintah melalui TNI-Polri melakukan pembunuhan terhadap rakyat Papua demi wilayah (NKRI) dan demi Negara.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea pertama menyatakan “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perkemanusiaan dan perikeadilan”. Sebagai anak bangsa yang beradab dan menghargai kemanusiaan, tentu kita tidak ingin terjadi penindasan dan penjajahan atas nama apapun di negri ini. Karena itu dukungan terhadap pembebasan manusia atas manusia lain melampaui bangsa, bahasa, etnis dan ras. Mari kita dukung segala bangsa yang berjuang dan memperoleh pembebasannya.

Jakarta, 5 Desember 2011
Sinnal Blegur

1 komentar:

  1. Lucky Club: Home for all the fun of a Jackpot Party!
    Lucky Club is your new home for all the fun of a Jackpot Party! Join us today and play luckyclub.live exciting games from the comfort of your home!

    BalasHapus